Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Daftar di sini
Kirim artikel
Editor Sandro Gatra
KETERPILIHAN Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming dalam Pilpres 2024 menghadirkan nuansa kebaharuan dalam sejarah kepemimpinan Indonesia.
Kolaborasi gaya kepemimpinan militeristik ala Prabowo dan kebersahajaan anak muda ala Gibran menarik untuk dieksplorasi dalam ruang diskursus.
Lebih dari itu,pertanyaan yang lebih dalam patut disematkan,bagaimana dwitunggal ini akan menahkodai pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia?
Kekhawatiran publik akan kelahiran kembali orde baru tak muncul dari ruang hampa. Indonesia pernah dipimpin oleh Soeharto yang terkenal sentralistik.
Pada masa inilah kerangka pemerintahan daerah berjalan dengan corak sentralistik dan peran pemerintah “dibonsai”. Wajar jika publik resah,sebab kekuasaan menjadi terpusat pada satu tangan dan korupsi pada masa itu dilakukan secara masif.
Relasi pusat-daerah pada era orde baru diatur dalam UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Penggunaan diksi “di daerah” secara jelas memosisikan pemerintah daerah sebagai sub-ordinat pemerintah pusat.
Selain itu,relasi keuangan fiskal pusat-daerah pada rezim ini menggunakan sistem spesific grant (transfer keuangan oleh pusat kepada pemda untuk menyediakan jasa-jasa publik yang telah ditentukan oleh pusat).
Sisi positifnya,target stabilitas politik dan ketahanan nasional dapat tercapai serta perencanaan tersusun secara periodik.
Namun,pemda tidak leluasa dalam mengatur dan mengelola daerah. Dampaknya adalah tingginya tingkat ketimpangan kesejahteraan dan ketimpangan antarwilayah serta pembangunan yang nampak Jawasentris.
Saat ini,penarikan sejumlah kewenangan pemda dalam hal perizinan oleh pusat (dalam UU Cipta Kerja) adalah alarm yang patut diwaspadai.
Bak sangkakala pembuka armagedon,kebijakan ini menjadi pembuka atas aksi pemerintah yang semakin hari terkesan sentralistik. Dalihnya,ada rasa ketidakpercayaan pusat terhadap pemda yang dianggap sebagai raja kecil.
Selain itu,implementasi gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) juga berjalan setengah hati. Realitasnya,GWPP tidak kokoh secara kapasitas maupun kelembagaan.
Pusat terkesan bertindak setengah hati dan seolah melepas kepala ular sembari memegang ekornya. Jelas ini adalah preseden yang tidak baik dalam implementasi otonomi daerah.
Isu krusial lainnya,penunjukan anggota TNI aktif pada sejumlah jabatan sipil mengingatkan kita pada memori dwi fungsi ABRI. Alih-alih menerapkan kontrol sipil objektif ala Hunnington (1957),justru kontrol sipil pragmatis ala Daniel Travis (2017) berjalan mulus.
Akibatnya,corak tata kelola sentralistik menguat diikuti indeks demokrasi yang menukik jatuh dalam lembah kekelaman.
Jelajahi konten kami yang dikuratori, tetap mendapat informasi tentang inovasi inovatif, dan perjalanan ke masa depan sains dan teknologi.
© Teknologi aplikasi cerdas
Kebijakan pribadi