Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Daftar di sini
Kirim artikel
Editor Sandro Gatra
SUDAH 20 tahun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) disodorkan,disusun,bahkan dijadikan RUU inisiatif DPR RI,namun tak kunjung juga disahkan.
Mulai periode masa keanggotaan DPR 2004-2009 sampai periode 2019-2024,berbagai “status” pernah disandang oleh RUU ini.
RUU PPRT pernah masuk dalam Program Legislasi Nasional lima tahunan (Prolegnas),tetapi tidak masuk dalam prioritas tahunan.
Kemudian pernah masuk dalam daftar tunggu prioritas tahunan,pernah pula masuk prolegnas lima tahun,dan sekaligus prioritas tahunan.
Periode masa keanggotaan DPR tahun 2019-2024 adalah periode paling “maju” dalam pembahasan RUU PPRT. Untuk pertama kalinya,RUU ini selesai dibahas di Badan Legislasi pada Juni 2020.
Setelah mengendap tanpa kejelasan hampir tiga tahun,RUU ini kemudian dijadikan RUU Inisiatif DPR pada rapat paripurna tangal 21 Maret 2023.
Pascaditetapkan sebagai RUU Inisiatif,DPR juga segera mengirim draf RUU PPRT tersebut ke pemerintah untuk mendapatkan masukan berupa Daftar Inventaris Masalah (DIM).
Pemerintah juga sigap dalam merespons RUU ini dengan mengirim DIM ke pimpinan DPR RI pada 15 Mei 2023.
Namun setelah itu,tidak ada kabar kelanjutannya. Tidak ada upaya sama sekali untuk menyelesaikan dan mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-undang. Bahkan tanpa ada penjelasan ke publik kenapa lebih dari setahun RUU tidak kunjung diproses ke tahapan selanjutnya.
Problem-Problem dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan telah banyak dikaji dan menjadi perhatian para ahli atau pengamat hukum dan kebijakan. Beberapa problem bisa disebutkan di sini.
Kajian dari Pusat Studi Hukum dan kebijakan Indonesia (PSHK) dan Bappenas (2019),menunjukkan adanya obesitas atau hiper-regulasi di Indonesia.
Menurut kajian tersebut,hiper regulasi terjadi karena banyak muatan materi peraturan perundang-undangan yang menyimpang dari seharusnya diatur.
Hal ini terjadi karena tiadanya prosedur monitoring dan evaluasi peraturan serta absennya lembaga khusus yang menangani berbagai aspek dalam sistem perundangan-undangan.
Maka tak pelak lagi akibat dari hiper regulasi adalah adanya tumpang tindih peraturan,baik secara vertikal maupun horisontal.
Kajian tersebut juga menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara perencanaan peraturan perundang-undangan dengan perencanaan dan kebijakan pembangunan.
Jelajahi konten kami yang dikuratori, tetap mendapat informasi tentang inovasi inovatif, dan perjalanan ke masa depan sains dan teknologi.
© Teknologi aplikasi cerdas
Kebijakan pribadi